Ibnu ‘Arabi Dalam Sorotan: Menyingkap Kode dan Menguak Simbol di Balik Paham Wihdat al-Wujud
Oleh:
Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayumi
Diterjemahkan
oleh : Imam Ghazali masykur
Penerbit :
Erlangga
Tahun :
2007
Jenis
buku : non fiksi
Jumlah
halaman : VIII+143 halaman
Memasuki Alam Tasawuf
Wihdat al-Wujud
Istilah tasawuf dan sufism tentu sudah tidak asing
di telinga kita. Istilah ini selalu dihubungkan dengan kesucian jiwa, kewalian,
dan kezuhudan. Tasawuf merupakan ketertarikan seseorang kepada pengetahuan
bathin dan orang yang berusaha menemukan jalan atau praktik ke arah kesadaran
dan pencerahan bathin. Dapat dikatakan
bahwa tasawuf adalah upaya membangun, mengembangkan dan menghidupkan keadaan batin
yang sudah sadar dengan mendapatkan pengetahun tentang amal-amal lahiriah.
Ajaran-ajaran tasawuf tidak dikenal
pada zaman Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi
wasallamq. Ajaran ini muncul saat kaum muslimin bersentuhan dengan
agama-agama kuno yang berbeda dengan Islam. Ajaran ini berhubungan dengan
filsafat dan sekte-sekte keagamaan. Salah satu benih awwal tasawuf dapat
dilihat dalam aliran zuhud yang mengakar dalam kehidupan umat Islam pada
pertama Hijriah. Menurut Goldziher, kemunculan zuhud disebabkan oleh dua
factor, yaitu karena rasa bersalah yang berlebihan dan rasa takutterhadap siksa
Tuhan dan siksa neraka dalam diri kaum muslimin.
Pada abad kedua Hijriah marak budaya
hedonism dan maraknya aliran-aliran Islam. Di saat itulah orang-orang ahli
sunah yang rajin beribadah mengelompokkan diri dengan nama sufi dan ahli
tasawuf. Hukum syari’at pun ramai diperdebatkan oleh para pemuka agama.
Selanjutnya persoalan agama juga dibicarakan dengan teori yang ilmiah. Pada
saat itulah tasawuf mengalami perkembangan makna menjadi sesuatu yang lebih
sempurna dalam beragama. Ambisi ini memunculkan tumbuhnya satu disiplin ilmu
agama lain selain fikih, yang mengkaji persoalan-persoalan wara’, takwa,
kebenaran, dan khalwat. Tasawuf setidaknya
terbentuk karena dua modus: (1) untuk mendalami dan menyelami makna agama, dan
(2) untuk mencari nilai-nilai dan format-format baru dalam beragama. Meski
respon social-politik terhadap lahirnya sufisme juga tak bisa diabaikan begitu
saja.
Dunia tasawuf kemudian dikejutkan
sekaligus diramaikan oleh kehadiran sosok sufi yang sangat kontroversial, Ibn
‘Arabi. Kekhasannya terletak pada ikhtiar menggabungkan antara imajinasi,
rasio, dan religi, sehingga menghasilkan buah pemikiran yang unik. Karena pemikirannya
tersebut menimbulkan banyak kritik-kritik dari para ulama bahkan keselamatan
nyawanya pun menjadi terancam.
Bagi yang kontra, mereka menganggap
Ibn ‘Arabi sebagai corong sekte Ismailiyah, yaitu kelompok yang tidak percaya
dengan berakhirnya era kenabian. ‘Arabi juga dianggap sebagai ulama yang jahat,
penganut Syi’ah dan pembohong besar. Ibn ‘Arabi juga dituduh sebagai orang yang
cukup terlibat dalam aliran Bathiniyyah dan mengajak kepada permisivisme serta
keluar dari ikatan syari’ah. Selain yang mengkritisi Ibn ‘Arabi, ada juga yang
pro terhadapnya. Salah satunya adalah Henry Corbin yang mendukung pemikiran
‘Arabi melalui tulisan-tulisannya seperti “Sejarah Filsafat Dalam Islam”, dan
juga Al-Suyuti, menulis “Peringatan Terhadap Orang Bodoh: Keterbebasab Ibn
‘Arabi dari kekafiran.
Biografi
Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi
memiliki nama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abd Allah
al-Hatami. Ia biasa dipanggil “Abu Bakr” dan diberi gelar “Muhyi al-Din”. Ian
dilahirkan pada hari senin 17 Ramadhan 560 H, di Murcia. Ayahnya adalah ‘Ali
bin Muhammad seorang pakar hadits dan Fikih, ahli zuhud, takwa dan pegiat tasawuf.
Pada saat Ibn ‘Arabi berumur 8 tahun, keluarganya pindah ke Sevilla pada 568 H.
Disanalah ayahnya bekerja sebagai aparur pemerintah. Konon, Ibn ‘Arabi
jugabekerja sebagai juru tulis pemerintah Sevilla.
Ibn ‘Arabi tumbuh
dalam lingkungan yang penuh takwa dan jernih. Ia pun berguru kepada Abu Bakr
bin Khalf ketua ulama fikih saat itu. Belum genap sepuluh tahun, ia sudah
menguasai dan mendalami semua qiraat. Katika dewasa, Ia menikah pertama kalinya
dengan Maryam binti Muhammad bin ‘Abdun bin ‘Abd al-Rahman al-Bija’i, seorang
perempuan dari keluarga terhormat. Pada tahun 1240 M, Ibn ‘Arabi wafat di
Damaskus, Syiria.
Menurut Syams al-Din bin Masdi yang
pernah bercerita tentang riwayatnya, mengatakan “Ia sosok yang tampan, memiliki
keilmuan yang mendalam, menguasai sastra, dan berfikir progresif. Di masa
mudanya ia belajar kepada Syeikh Zarqun, al-Hafidz Ibn al-Jadd Abu al-Walid
al-Hadrami, dan Syaikh Abu al-Hasan bin Nashr. Hanya itu hal penting yang
diceritakan sejarah tantang masa muda Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi.”
Ibn ‘Arabi memiliki karya yang
beragam. Mulai dari artikel pendek hingga buku-buku tebal dan berjilid-jilid,
seperti buku al-Futuhat al-Makkiyah. Buku ini dianggap oleh Pusat Pengetahuan
sebagai referansi utama kajian tasawuf Islam yang terdiri dari 37 bagian dan setiap bagiannya memilki 300
halaman. Tulisan Ibn ‘Arabi memiliki kekhasan tersendiri. Ciri khasnya yaitu
Ibn ‘Arabi hanya mengusung tema “tasawuf dan ilmu relung hati” dalam setiap penulisan
bukunya. Pemikiran ini mampu menarik perhatian pemikir Arab dan kawasan Islam
lainnya untuk diteliti lebih mendalam. Karya Ibn ‘Arabi mencapai 400 buku dan
artikel pendek namun ada juga yang mengatakan bahwa karyanya mencapai 1000 buku
dan artikel pendek.
Pemikiran Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi adalah orang orang
pertama yang meletakkan konsep Wihdat
al-Wujud. Konsep tersebut memiliki pemikiran bahwa tidak ada satu pun yang
wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah
dari-Nya. Menurut Ibn Taimiyah, madzhab ini mengatakan bahwa makhluk itu “sama” dengan keberadaan
Tuhan. Segala sesuatu lahir atas dasar pengethuan Ilahi yang bisa dibuktikan
dengan lima tingkatan (maratib khamsah).
Ia berpendapat bahwa anugerah
tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah ilmu. Meski dengan
sendirinya ilmu itu mulia, ilmu akan menjadi mulia ketika berkaitan dengan
pengetahuan tentang Tuhan. Menurutnya, ilmu memiliki media yang beragam yang
bisa diperoleh dengan takwa dan kebeningan hati, mulai dari pancaindra, berita,
logika, dan ilham.
Menurutnya, pancaindra mengalirkan
apa yang ditangkapnya kepada akal, juga menyampaikan responnya tentang apa yang
diindranya. Dalam pemikiran kritisnya, ia berkata apa yang ditangkap indra itu
benar, karena ia perantara (hanyalah saksi) tapi akalah yang menjadi hakim dan
penentu kebijakan. Ibn ‘Arabi juga menjelaskan keterbatasan indra dengan teori
pemantulan sifat-sifat Tuhan dalam symbol-simbol kemanusiaan. Seperti yang
dijelaskan dalam hadits qudsi “Aku ini telinganya yang mendengar, matanya yang
melihat…” Menurut Ibn ‘Arabi, Allah mengangkat fungsi indra dari sekedar organ
tubuh menjadi sesuatu yang mencapai tahap kasyf.
Selain ia mengkritisi pancaindra
sebagai media pengetahuan, Ibn ‘Arabi pun memberikan kritik tentang nalar.yaitu
menurutnya yang pertama,
ketergantungan nalar terhadap indra yang
membentuk pengetahuannya. Yang kedua, tunduknya
nalar kepada kekuatan fikir, seperti imajinasi yang tergantung pada indra,
karena indra lah yang merekam realitas.
Contohnya, realitas dan daya ingat
yang bisa salah dan keliru. Realitas berkaitan dengan imajinasi, sedangkan
ingatan selalu menyimpan sesuatu yang lebih banyak dan besar. Dari sinilah Ibn
‘Arabi menyatakan “tidak ada sebuah kekuatan yang tidak memiliki penghalang dan
rintanga.”
Ringkasan dari kritik Ibn ‘Arabi
terhadap nalar, seperti qiyas.
Menurutnya jalan menuju Tuhan tidak bisa dicapai dengan qiyas karena Tuhan
senatiasa “bekerja” setiap hari dan setiap jiwa hanya bisa mengira-ngira. Kita
tidak akan mampu mencari padanan untuk Allah karean Tuhan Maha Mengetahu apa
yang kita lakukan, sementara kita tidak mengetahui-Nya.
Walaupun
Ibn Arabi mengritik peran dan kontribusi nalar tehadap makrifat, tetapi tidak
menafikan peran nalar. Ia menegaskan pentingnya penalaran rasional sebagai
salah satu fungsi akal. Menurutnya, ilmu pengetahuan diperoleh dengan penalaran
rasional dan kasyf ilahi. Penalaran rasional bisa benar dan bisa juga salah
terutama terkait dengan isu-isu yang bertentangan dengan logika. Hal itu
menjadi bagian dari “hal-hal yang ditetapkan oleh agama.”
Selain itu, ia juga mengritisi tentang akal.
Menurutnya akal itu muqallid, karena
ia tidak mengetahui sesuatu secara langsung. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengetahui secara langsun kecuali Allah. Taklid dalam pandangan Ibn Arabi
menjadi akar dari semua pengetahuan rasional pengethuan dharuri, bahkan kasyf.
Orang yang
menelaah tentang factor pemikiran spiritualitas Ibn Arabi menyimpulkan bahwa
pemikirannya berasal dari nasihat dan perilaku istrinya, do’a ibunya yang
senantiasadatang dalam mimpi-mimpi Ibn Arabi, ditambah dengan sakit yang
dideritanya dan akhirnya sembuh dengan doa, pembacaan al-Quran secara terus
menerus , terutama surat Yasin, juga kematian ayahnya yang mendadak. Semua itu
membawanya bersegera ke jalan Tuhan.
Salah satu karakter dan cirri khas Ibn Arabi lainnya
adalah permainannya terhadap symbol-simbol. Ia menerangkan substansi dengan
langsung, tetapi menjealaskannya dengan symbol. Bagina, symbol menjadi metode
untuk mengurai realitas hakiki yang sesuai dengan konsep dasar: kebenaran, alam
dan manusia. Makna symbol bisa diserap, hanya orang tertentu yang bisa
memahaminya. Symbol bisa saja dengan isyarat, kedipan mata, bibir, atau gerak
mulut.
Ibn Arabi menggunakan symbol untuk mendeskripsikan
pemikiran dan teologinya. Semua yang diungkapkannya ibarat sampan yang sarat
muatan mutiara dan intan bermakna. Namun, keasyikan menyelam dalam simboldan
bermain dengan ungkapan yang membingungkan inilah yang menyebabkan ibn Arabi
memiliki banyak “musuh”. Ini bisa terlihat dalam ungkapan “maha suci aku dan
akulah pemilik dari segala sesuatu.”
Ia dengan sengaja menyebar idenya di dalam buku-buku
karangannya. Ia seakan sadar denga apa yang akan terjadi sebagai dampak dari
tulisan, ide dan pengembaraan imajinasinya. Oleh karena itu, ia sevara khusus
menjelaskan semua istilah dalam satu buku khus berjudul Tarjuman al-Asywaq, agar ia tidak dikritik dan disalahkan dengan
ungkapan dan istilah yang ia lontarkan.
Dalam bahasa sufistik, kebenaran dan ciptaan Allah
menyatu dalam satu dimensi, yaitu insan kamil (manusia sempurna) baik sebagai
nabi maupun wali. Oleh karena itu semacam ada tugas keagamaan bagi insan kamil
sebagai pengubung antara Kebenaran dengan ciptaan-Nya untuk menyatukan misi
metafisik. Ada tiga tahapan yang biasa dirasakan oleh para sufi, yaitu
iluminasi nama-nama Tuhan, iluminasi sifat, dan Dzat.
Dalam hal ini terdapat aksioma yang disepakati oleh
para sufi yaitu wihdat al-wujud, yaitu paham yang menyatakan bahwa segala
pikiran dan amal pada hakikatnya milik Tuhan. Salah satu dari konsekuensi paham
ini adalah pembenaran mereka terhadap semua agama, apapun bentuknya. Karena
kebenara menurut Ibn Arabi tidak bisa dimonopoli hanya oleh satu akidah.
Ketika kaum sufi mendaulat dirinya sebagai orang-orang
yang bertakwadan intelek dan berhak mendapatkan wilayah, maka berarti merekalah
orang-orang yang senpurna. Paradigm Ibn Arab banyak berawal dari konsep ini. Ia
membagi semesta dalam lima bagian , yaitu:
1. Eksistensi
mutlak, yaitu Allah SWT;
2. Eksistensi
yang hampa materi, salah satunya yaitu malaikat;
3. Eksistensi
yang memerlukan ruang dan waktu, seperti benda, individu, jasad, dan
al-jawahir;
4. Eksistensi
yang secara pribadi tidak memerlukan ruang, tetapi ikut terhadap eksistensi
yang memerlukan ruang dan waktu, seperti warna hita, putis dan sebagainya;
5. Eksistensi
nasab.. menurut Ibn Arabi poin ini sama dengan “sepuluh pernyataan filsafat
(al-maqulat al-asyar al-falasifiyyah).
Dalam pandanga Ibn Arabi semua eksistensi ini
berkumpul menjadi satu dalam diri manusia. Ketika ruh ditiuokan kedalam diri
manusia, maka secara substansial, ia telah bertemu dengan eksistensi mutlak
yang suci. Ibn Arabi membagi manusia dalam dua sisi, yaitu sisi internal dan
sisi eksternal. Sisi eksternalparalel dengan semesta beserta isinya, sedangkan
sisi internal paralel dengan kehadiran Tuhan.
Mengnai paralelisme antara manusia dengan hakikat
Tuhan Ibn Arabi berkata: “pengetahuan kitaterhadap sifat-sifat Tuhan lahir dari
pengetahuan kita terhadap sifat-sifat-Nya dan Dia sematkan kepada diri kita.”
Jika kita tidak mengetahui eksistensi kita, maka kita tidak akan mengetahui
hakikat sebuah eksistensi. Kita pun tidak akan berkata bahwa Tuhan itu ada.
Dasar dari ma’rifat atau paralelisme antara sifat
Tuhan dan sifat kemanusiaan, berpusar pada “penyematan” al-itsbat dan
“penuturan” alsalb (negasi). Dengan kata lain, segala hal yang Dia sematkan
kepada kita adalah benar sedangkan di luar itu tidak. Dalam pandangan Ibn
Arabi, hal ini selaras dengan Atsar Islam “barang siapa (mampu) mengenal dirirnya,
maka ia (mampu) mengenal Tuhannya.”
Berdasarkan pemaparan diatas, buku Ibn
‘Arabi dalam Sorotan, setidaknya dapat menjadi pengantar yang tepat, bagi
siapa saja yang ingin memasuki alam pikiran Ibn ‘Arabi yang dikelompokkan dalam
aliran tasawuf-filosofis itu, yang penuh dengan gagasan-gagasan yang
mengejutkan.
Komentar
Posting Komentar