H. ABDUL KARIM OEY TJENG HIEN (1905-1988)
Oleh: Lailatusyifa
A.
Setting
Sosio-historis dan Keagamaan
H. Abdul Karim Oey adalah salah satu
pelopor gerakan pembaruan dan pembauran di kalangan etnis Tionghoa di
Indonesia. Beliau merupakan Muballigh keturunan Cina yang baru masuk
Islam pada tahun 1926. Ketika Beliau
menjadi seorang muslim, banyak cemoohan yang datang silih berganti dari
kalangan etnis Cina. Hal itu dikarenakan orang Cina menganggap bahwa seseorang yang masuk agama
Islam akan turun derajatnya dimata mereka,
khususnya yang masih memegang teguh ajaran para leluhur untuk menyembah
berbagai dewa. Namun,
beliau tidak memperdulikan cemoohan-cemoohan orang di sekitarnya. Bahkan
beliau berfikir dengan menganut agama Islam beliau dapat berbaur dengan rakyat
Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam.
Beliau terkenal sebagai sosok “3 in 1”. Maksudnya adalah beliau merupakan
orang Indonesia keturunan Cina, yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi
pada Indonesia sekaligus
seorang muslim yang taat dan pengusaha yang cerdas serta sukses. Hal ini sesuai
dengan kalimat yang tertulis dalam foto yang beliau dengan Soekarno dan Buya
Hamka yang terpajang
di kantor Yayasan Haji Karim Oey, yaitu “ seorang muslim yang baik, adalah yang
taat pada agamanya dan cinta tanah air.”
Sebelum masuk Islam, H. Abdul Karim sudah mengenal
Muhammadiyah dan orang-orang di dalamnya. Sehingga ketika beliau sudah masuk
Islam, beliau memiliki peran penting dalam organisasi tersebut yaitu dengan
menjadi Konsul P.P Muhammadiyah di Bengkulu. Walaupun beliau adalah seorang
muallaf keturunan Cina, beliau sangat taat dalam menjalankan syari’at agama
Islam.
Beliau merupakan sahabat dari
seorang Presiden Indonesia yang pertama, yaitu Ir.Soekarno. Kedekatan ini membuat mereka
sama-sama bersemangat dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia. Oey Tjeng Hien
(Abdul Karim) memiliki kontribusi luar biasa dalam membela tanah air. Sebagai
seorang muslim, beliau menanamkan konsep pembauran pada kehidupan
sehari-harinya. Islam adalah agama yang cinta damai dan tidak membeda-bedakan
seseorang berdasarkan ras, suku, kekayaan maupun latarbelakang keluarga.
Berkaitan dengan hal ini, beliau berusaha untuk melaksanakan pembauran
tersebut, karena walaupun berbeda, keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia
juga merupakan warga Indonesia. Dengan begitu masyarakat tionghoa juga harus
disamakan dengan pribumi. Karena jika rakyatnya bersatu, maka Indonesia akan
lebih kuat dalam melawan sang penjajah.
B.
Masa
hidup
Nama asli H. Abdul Karim Oey adalah
Oey Tjeng Hien. Beliau lahir di
Padang, Sumatra Barat pada tanggal 06
Juni 1905. Beliau terlahir di
tengah-tengah keluarga suku Hokkian (Tionghoa). Kedua orang tua beliau adalah
Oey Tian Seng dan Gho Soean Nio (Nona Onde)
yang berimigrasi ke Indonesia dan menetap di Padang Sumatra Barat.
Keluarga tionghoa ini tinggal di Belakang Tangsi, Padang, yang dikenal dengan
daerah pemukiman keluarga-keluarga Tionghoa. Ibunya yang lebih dikenal dengan
nama Nona Onde memegang peran penting dalam usaha jual-beli emas intan.
Ketika baru berumur dua tahun
beliau sudah menjadi piatu. Beliau diasuh oleh kakak iparnya Ny. Loan istri dari kakak kandungnya yaitu Siaw Sam Ho yang sehari-hari lebih
dikenal dengan Babah Didong. Kemudian
mereka tinggal di pulau Karam, yang sekarang adalah Kali Kecil Padang. Sudah
sekian lama beliau baru menyadari bahwa dirinya sudah piatu dan hanya mengenal
Ny. Loan Eng sebagai ibu kandungnya. Semenjak beliau kecil sampai beranjak
dewasa, beliau lebih dikenal dengan nama Baba Adek atau Babadek di kalangan teman-temannya. Nama
Babadek lebih popular dari pada nama aslinya bahkan sampai beliau merantau ke
Bintuhan Bengkulu Selatan.
Kakak kandung beliau, Baba Didong
dan istrinya sengat memanjakan beliau. Segala apapun yang diinginkannya selalu
dituruti oleh mereka. Pada usianya yang bertambah dewasa beliau disekolahkan di
HCS (Holland Chinese School) yang
merupakan Sekolah Dasar dengan berbahasa Belanda untuk orang untuk keturunan
Cina selama tujuh tahun. Setelah menamatkan pendidikan di HCS, beliau mengikuti
kursus-kursus salah satunya adalah kursus berdagang. Dengan memiliki dasar
pengetahuan tentang berdagang, beliaupun mulai membuka usaha dagangnya bersama
kakaknya, Baba Didong hingga sanggup berdiri sendiri. Dengan modal, bakat dan
keuletannya, usahanya pun semakin maju.
Beliau menikah dengan Thio Ay Nio
alias Maimunah Mukhtar yang sama-sama berasal dari suku Tionghoa. Mereka
dinikahkan oleh kedua sahabat H. Karim Oey, yaitu Marzuki Yatim dan yang
menyampaikan Khutbah nikah adalah Yacoub Rasyid. Dari pernikahan inilah beliau
dikaruniai satu orang putra dan dua orang putri. Putra bungsu beliau adalah Oey
Tek Lie (Muhammad Ali Karim) sedangkan kedua putrinya adalah Tjio Nio dan Oey
Eng Lian (Iriani karim). [1]
Ketiga anaknya tersebut menikah dengan orang pribumi sebagai bentuk konsep
pembauran.
Berdasarkan yang tertulis dalam
buku autobiografi H. Abdul Karim, Sebelum masuk islam, beliau menganut agama
Budha kemudian menganut agama Kristen Advent. Sedangkan ayah dan keluarganya yang berada di Jambi dan Padang
menganut agama Budha. Ketika beliau pindah ke Bengkulu, beliau sangat
bertanya-tanya tentang ajaran. Kemudian secara diam-diam beliau mempelajari
Islam dengan Ustadz Abdul Kadir dan di depan gurunya inilah beliau pertama kali
mengucapkan dua kalimat Syahadat. Keimanannya kepada agama islam ini tetap
teguh bersemayam dalam hatinya hingga beliau wafat pada 14 Oktober 1988 dalam
usianya 83 tahun dan dimakamkan di samping makam istrinya, Maimunah (w. 1984)
di Pemakaman umum tanah kusir, Jakarta.
C.
Ketertarikannya
terhadap Islam
Agama Islam mendapat anggapan jelek
oleh masyarakat Tionghoa. Mereka juga beranggapan bahwa Islam hanya untuk orang
Arab dan pribumi. Pemikiran itu juga tertanam dalam benak Karim Oey sebelum
beliau menganut Islam. Namun, beliau tidak menelan mentah-mentah doktrin
tersebut. Ketika dewasa, beliaw mulai tertarik untuk mengetahui secara mendalam
tentang Islam yang di cap oleh orang
Tionghoa.
Ketika itu beliau masih menganut
Kristen Advent dan sudah tinggal di Bengkulu selama dua tahun. Pada saat itu,
beliau mulai membanding-bandingkan Advent dengan Islam. Beliau pun berusaha
mencari kebenaran terhadap doktrin yang sudah lama tertanam di dalam otaknya
bahwa Islam adalah agama yang dapat merendahkan derajat dan manusia. Untuk
mengetahui itu semua, beliau mulai membaca buku-buku tentang Islam secara
diam-diam. Terlebih lagi pada saat itu beliau memiliki banyak teman muslimyang
sangat taat dan religious, salah satunya Buya Hamka.
Seiring berjalannya waktu, beliau
semakin percaya akan kebenaran Islam. Ketika bathinnya sudah mantap memilih
Islam sebagai agama yang harus dianut, beliau secara diam-diam pula menemui
salah satu guru agama di Bengkulu. Guru tersebut bernama Ustaz Abdul Kadir. Dan
di depan gurunya inilah, beliau pertama kalinya mengucapkan dua kalimat
syahadat pada 1930. Setelah beberapa hari kemudian, beliau minta dikhitan dan
mulai mengerjakan Shalat. Selain itu, beliau pun mengganti namanya yang semula
Oey Tjeng Hien menjadi Abdul Karim.[2]
Ali Karim, anak bungsu beliau
mengatakan bahwa alasan ayahnya masuk Islam bukan karena dipengaruhi oleh
temannya, tapi karena beliau menemukan kedamaian dan memahaminya berasarkan
logika. Karena masih kurangnya pengetahuan tentang Islam, beliau meminta Fikir
Daud yang terkenal sebagai guru agama yang produktif di Kota itu untuk
membimbingnya dalam mempelajari Islam lebih mendalam lagi. Untuk menyempurnakan
rukun Islam yang kelima, beliau pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji tahun
1969 M/1989 H. Dan pada saat itu, beliau dikenal dengan H. Abdul Karim Oey.
Masuknya beliau ke dalam agama
Islam tentunya mendapat banyak cemoohan dari kalangan etnis Tionghoa. Mereka
merasa kecewa dengan keputusan yang diambil oleh H. Abdul Karim Oey. Terlebih
lagi ketika beliau ikut bersama sejumlah tokoh agama seperti Fikir Daud dan
Abdul Rauf untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah atau Sarikat Islam di
Bintuhan. Sejumlah keturunan tionghoa membenci beliau. Tindakan kebencian
tersebut dilakukan mereka dengan melumuri rumah beliau dengan kotoran hewan dan
manusia pada malam hari. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa beliau sudah
menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah. Namun hal itu tidak membuat beliau dan
sejumlah pengurus Muhammadiyah patah semangat. Justru hal ini membuat beliau
semangat dalam berdakwah dan menjadikan bukti bahwa Islam adalah agama yang
kuat.
Cobaan lain yang datang menimpa H.
Karim Oey setelah masuk Islam datang dari ayahnya. Oey Tian seng sangat
terkejut saat mengetahui anaknya menganut Islam yang dianggapnya tidak sesuai
dengan tradisi Tionghoa. Ayahnya meluapkan kemarahan dan rasa bencinya melalui
surat yang dikirim untuk beliau. Segala macam kejelekan tentang islam
ditulisnya disurat tersebut. Bahkan Oey Tian seng memerintahkan anaknya utnuk
kembali menganut agamya yang semula. Walaupun begitu, H. Karim Oey membalas
surat dari ayahnya itu dengan sopan santun dan sikap kasih sayangnya.
Kemarahan ayahnya dihadapi dengan
kesabaran. Dalam surat menyurat beliaupun sedikit demi sedikit menjelaskan
tentang islam yang dipandang jelek oleh ayahnya. Terus menerus H. Karim Oey
membalas surat yang berbentuk kemarahan ayahnya dengan sikap beliau yang sopan
santun dan kasih sayang yang tulus. Sampai pada akhirnya beliau mendapat kabar
gembira bahwa ayahnya sudah masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul
Majid. Tidak hanya itu, ibu tiri dan adik-adik tiri beliaupun menyusul masuk
Islam. [3]
Salah satu teman beliau, Syafruddin
Prawiri mengatakan kesuksesan beliau membujuk ayahnya masuk islam terletak pada
cintanya kepada kebenaran. Sehigga beliau menemukan Islam dan kemudian dapat
mengantarkan ayahnya, keluarganya, dan banyak lagi orang lain kedalam agama
Allah. Beliau adalah seorang yang dikenal sebagai sebagai pemimpin muslim yang
sejati, yang besar jasanya dalam pembangunan dan perkembangan Islam di
Indonesia.
D.
Kehidupan
keluarganya
Berdasarkan wawancara, Ali Karim
mengatakan bahwa ayahnya H. Abdul Karim Oey menikah dengan Ay Nio alias
Maimunah yang sama-sama berasal dari suku Tionghoa. Dari pernikahannya beliau
dikarunianya tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Putra bungsu
beliau adalah Oey Tek Lie (Muhammad Ali Karim) lahir pada tanggal 11 Januari
1956. sedangkan kedua putrinya adalah Oey Tjio Nio (Iriana Karim) lahir pada
1964 dan Oey Eng Lian (Iriani karim).
Sebagai tokoh pembauran, beliau
juga menanamkan konsep asimilasi di lingkungan keluarganya. Upaya tersebut
dilakukan dengan menikahkan putra dan putrinya dengan orang pribumi agar tidak
terjadi perbedaan antara Tionghoa dengan Pribumi. Putra beliau Muhammad Ali
Karim (Oey Tek Lie) menikah dengan Lani Husein pada usianya yang ke 21. Abdul
Karim awalnya menyayangkan karena gadis yang dicintai anaknya tidak beragama
Islam. Beliau menyarankan bahwa Lani hendaknya masuk Islam jika ingin menikah
dengan Ali Karim dan Islam yang dianut
tidak hanya sekedar merek, tapi harus Islam yang dipraktekkan sehari-hari. Lani
pun menyetujui untuk masuk Islam dan menikah dengan Ali Karim. sedangkan
putrinya Tjio Nio menikah dengan seorang dokter asal Indonesia asli. Oey Eng
Lien (Iriani Karim), putri terakhir beliau menikah dengan Ir. Machar Nasution
putera H.M Yunan Helmi Nasution.
E.
Hubungannya
dengan Soekarno
H. Abdul Karim memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Soekarno. Pertemuan pertama mereka pada tahun 1932 di
Bandung membuat mereka saling mengenal satu sama lain bahkan menjalin
persahabatan. Dalam buku yang berjudul “Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa” yang
diterbitkan Gunung Agung , beliau berkata bahwa mereka memiliki banyak
persamaan. Ketika baru pertama kali mereka bertemu, mereka berdua seakan-akan
sudah terikat satu sama lain. Dirinya dengan Soekarno juga memiliki tanggal dan
bulan lahir yang sama, hanya saja Soekarno lebih tua 4 tahun dibanding beliau.
H. Abdul Karim memiliki tanggal lahir 6 Juni 1905, sedangkan Soekarno lahir
pada 6 Juni 1901.
Persahabatan mereka dimulai sejak
mereka dikenalkan oleh H. Zamzam di Bandung. Dari saat itulah mereka memiliki
hubungan yang sangat erat dan intim. Persahabatan mereka tersebut menghasilkan
semangat yang kuat dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1938 Soekarno
dipindahkan dari Endeh ke Bengkulu (pada saat itu menjadi orang “buangan”).
ketika itu beliau diminta Soekarno untuk menjadi Konsul Muhammadiyah di cabang
Bengkulu menggantikan H. Yunus Jamaludin yang sakit. Beliaupun pindah ke
Bengkulu atas permintaan Soekarno dengan meninggalkan usaha dan menjual semua
harta yang dimilikinya. Di Bengkulu pun beliau membangun usaha mebel rumah
tangga bersama Soekarno yang dinamai Perusahaan Suka Merindu. Pada awalnya
usaha tersebut berjalan lamban, namun pada bulan-bulan berikutnya usaha makin
bertambah pesanan.
Menurut buku otobiografi yang
beliau tulis, Beliau pernah diminta untuk menjadi “Wakil Nikah” atas Fatmawati
yang merupakan anak Hasan Din. Tapi beliau menolaknya karena tidak ingin
merusak hubungan Soekarno dengan Ibu Inggit. Keinginan Soekarno untuk menikahi
Fatmawati menimbulkan pertengkarannya dengan Ibu Inggit. Bahkan dalam bukunya
yang berjudul “Kuantar ke Gerbang” , Ibu Inggit mengatakan bahwa H. Abdul Karim
Oey berperan sebagai perantara hubungan Soekarno dengan Fatmawati.
F.
Bidang
Usaha dan Peran Kelembagaan
Menurut Drs. H. Junus Jahja, H.
Abdul Karim telah memelopori masuk Islamnya orang-orang keturunan. Beliau
adalah seorang perintis dan penjuang mengesankan yang turut mempunyai saham
penting bagi kejayaan Nusa, Bangsa, dan Agama.[4]
Selain menjadi muslim Tionghoa yang taat, H. Abdul Karim memiliki peran penting
dalam pengembangan dan penyebaran agama Islam di Indonesia. Tidak hanya
semata-mata menyebarkan, beliau juga menerapkan konsep pembauran terhadap masyarakat
Tionghoa dan Pribumi agar tidak ada perilaku saling membeda-bedakan ras. Banyak
usaha yang telah beliau lakukan dalam upaya mengembangkan Islam di Indonesia
dan juga dalam mencapai kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Tidak hanya itu,
beliau juga seorang pengusaha yang cerdas.
Di Bengkulu beliau banyak
memperoleh kepercayaan dalam memegang peran penting di Daerah itu. Dalam buku
“Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa” Pada tahun 1938 Beliau diberi kepercayaan
oleh Soekarno untuk menjadi konsul P.P Muhammadiyah Daerah Bengkulu. Amanah
tersebut beliau jalankan selama 14 tahun, yaitu hingga 1952. Selain itu, beliau
juga sempat menjadi Wakil Ketua Siyu-Sanci Kai jaman Jepang di Bengkulu pada
1945. Dalam tahun yang sama, beliau juga menjadi Anggota KNI dan Anggota DPRD
Daerah Bengkulu, serta menjadi Anggota pertahanan dan Ketua Tjabang Fonds
Kemerdekaan. Pada tahun 1944 sampai 1946 beliau yang baru menikah dua hari
sudah diberi tugas untuk menjadi Konsul P.P Muhammadiyah Seluruh Sumatra Selatan.
Selain sebagai Konsul P.P
Muhammadiyah di Bengkulu, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai
Masyumi Daerah Bengkulu pada 1946 sampai 1960. Beliau juga menjadi Direktur
Bank Muslimin Indonesia di Bengkulu. Ketika beliau memberikan sambutan dalam
acara pemilihan Konsul Muhammadiyah baru pada 1952, beliau meminta agar tik
dicalonkan lagi sebagai konsul karena beliau akan pindah ke Jakarta. Di Jakarta
beliau pun mengembangkan bisnisnya dalam sektor perbankan, perdagangan,
asuransi dan industri.
Pada tahun 1955 beliau menjabat
sebagai Komisaris Utama dan Direktur Utama PT. Bank Central Asia (BCA) hingga
tahun 1973. Di tahun 1957, beliau menjadi Anggota Dewan Partai Masyumi sampai
tahun 1960 dan menjadi Anggota Parlemem Republik Indonesia pada tahun yang
sama. Pada 1952 Beliau juga pernah menjadi Direktur PT. Mega Pusat selama 29
tahun. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Direktur Utama PT. Pabrik Kaos
Aseli 777 sejak 1962 sampai 1980. Kursi Direktur Utama PT. Sumber Bengawan Mas
juga penah belia duduki selama tujuh tahun sejak 1972.
Tokoh muslim Tionghoa ini juga
pernah memiliki peran penting dalam pengurusan
masjid Istiqlal, Jakarta. Pada tahun 1967 Beliau menjadi Pimpinan Harian
Panitia Penyelenggara Masjid Istiqlal berdasarkan besluit Presiden R.I Jendral
Soeharto No.14 th 1967. Beliau juga berperan dalam pembangunan Gedung
Muhammadiyah dengan menjadi Bendahara Umumnya tahun 1970. Pada tahun 1977
beliau menjadi Anggota Bakom PKB Pusat dan Anggota Dewan Penyantun PKB DKI.[5]
Berdasarkan nasihat yang diterima
beliau dari H. Ibrahim bahwa Muhammadiyah harus memperhatikan orang-orang
Tionghoa. Apalagi mereka sudah memiliki pergaulan yang akrab dengan penduduk
pribumi. Mereka pandai berbahasa daerah dan melakukan adat istiadat penduduk
asli. Namun mereka masih seperti orang lain, terpisah dan memisahkan diri.[6]
Oleh karena itu didirikanlah PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) pada
1963.
PITI adalah organisasi yang
sebelumnya diberi nama PIT (Persatuan
Islam Tionghoa), kemudian digabungkan dengan PTM (Persatuan Tionghoa Muslim)
yang merupakan perkumpulan Kho Goan Tjin. Maka dibentuklah PITI dengan Ketua Umum H. Abdul Karim sendiri. Namun,
berdasarkan instruksi Pemerintah, pada 1972 PITI pun berubah nama menjadi
Persatuan Iman Tauhid Indonesia yang apabila disingkat tetap PITI. Untuk mengembangkan aktifitas dakwah Islam
maka PITI bekerja sama dengan Muhammadiyah yang merupakan organisasi yang sudah
lama beliau geluti. [7]
G.
Respon
Sosial dan Implikasi Keagamaan (Yayasan Haji Karim Oey)
Yayasan Haji Karim Oey adalah organisasi
yang dibentuk untuk mengenang sosok Haji Karim Oey dan jasanya kepada negara.
Yayasan tersebut berdiri pada tahun 1991 yang digagaskan oleh Muhammadiyah,
Naudhatul Ulama (NU), Al-Washilah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dan para muslim keturunan Tiongha lainnya. Yayasan ini dibentuk untuk
meningkatkan aktifitas dakwah khususnya kepada orang-orang keturunan Tionghoa. [8]
Yayasan yang di Ketuai oleh H. Ali Karim
(Oey Tek Lie) ini memiliki misi untuk meneruskan cita-cita ayahnya, yakni H.
Abdul Karim di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Yayasan ini terletak di
Jalan Lautze No.87-89, Pasar Baru, Jakarta. Gedung yang memiliki empat lantai
ini juga sekaligus masjid, yang dinamai Masjid Lautze. Sebelum menjadi sebuah
yayasan dan Masjid, konon gedung ini adalah sebuah ruko. Awal membangun yayasan
ini adalah dengan mengontrak salah satu ruko di jalan Lautze ini.
Yayasan Haji Karim Oey merupakan pusat
informasi islam untuk WNI. Maksud dari WNI di sini adalah seorang muslim atau
muallaf yang berasal dari keturunan Cina. Walaupun begitu, yayasan ini terbuka
untuk siapa saja. Masjid ini membuka lebar-lebar pintunya untuk warga keturunan
Indonesia asli atau siapapun yang beragama Islam maupun orang non-muslim yang
ingin tahu tentang Islam.
Masjid yang mirip dengan kelenteng
tersebut diresmikan oleh Prof. Dr. Ing. H. B.J. Habibie pada 1994 melalui ICMI
(Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Di dalam masjid tersebut terdapat
berbagai macam kegiatan. Salah satunya adalah kegiatan pembinaan muallaf
dan pengajian mingguan.
Berdasarkan wawancara bersama Ningsih
yang merupakan anggota pengajian di Masjid Lautze mengatakan bahwa sudah banyak
para muallaf keturunan Cina yang diisalmkan di Yayasan ini. Setiap minggunya
selalu ada orang yang ingin di bimbing dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pengislaman di Yayasan tersebut biasanya dilakukan pada Jumat atau Minggu atau
sesuai dengan waktu luang mereka.
Ningsih juga mengatakan bahwa di Yayasan
ini diadakan kegiatan rutin yaitu pengajian mingguan. Pengajian dilaksanakan
setiap hari minggu dimulai pukul 11:00 WIB hingga waktu Ashar. Pengajian ini
biasanya dihadiri oleh muslim Tionghoa dan juga masyarakat pribumi yang datang
dari berbagai daerah di Jakarta maupun luar Jakarta. Ningsih juga mengatakan
bahwa kegiatan syukuran juga dapat dilaksanakan di Masjid Lautze.
Dalam kegiatan pengajian, setiap
bulannya terdapat 4 penceramah yang berbeda. Penceramah juga bisa dilakukan
oleh muallaf. Hal itu dilakukan sebagai pembelajaran dan latihan para muallaf
dalam menyampaikan ajaran Islam dalam bentuk berdakwah didepan mad’u. Dari
empat penceramah tersebut, salah satu yang yang meyampaikan materi ajaran Islam
adalah seorang wanita, salah satunya bernama Yaya Umayah. pada setiap bulan
puasa, yayasan ini selalu mengundang penceramah terkenal untuk berdakwah di
Masjid tersebut. Hal-hal yang diajarkan adalah seputar tatacara hidup
berdasarkan syariat Islam dan berbagai pengetahuan dasar Islam lainnya.
Betapa berartinya sosok Abdul Karim di
hati keluarga, para sahabat dan orang-orang disekitarnya. Beliau sangat taat
dalam menjalankan syariat Islam dan berusaha menciptakan pembauran antara
keturunan Tionghoa dan pribumi agar tidak ada perilaku saling membeda-bedakan.
Cita-cita mulia beliaulah membuat orang-orang di sekitarnya membuat wadah yang
sangat luar biasa dalam pengembangan agama Islam. Yayasan Haji Karim Oey dan
Masjid Lautze merupakan bentuk dari cita-cita beliau yang diteruskan oleh keluarga
dan sahabat-sahabatnya pada abad ke-20 ini.
REFERENSI
Mengabdi
Agama, Nusa dan Agama; H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), Gunung Agung,
Jakarta:1982
Widiastuti,
Nurani, FISIP UI, 2009 (Skripsi)
Sumber-sumber lainnya, baik dari
hasil wawancara dengan keluarga, tetangga, dan pihak berkompetensi lainnya,
serta hasil pelacakan di dunia maya.
[1] Mengabdi Agama, Nusa dan Agama; H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien),
Gunung Agung, Jakarta:1982
[2] Ibid, hal: 15
[3] Ibid
[4] Ibid, hal:219
[5] Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa
H. Abdul Karim, Gunung Agung, Jakarta:1982, hal 245-246
[6] Ibid, hal : 195
[7] Ibid , hal: 198-202
[8] Widiastuti, Nurani, FISIP UI, 2009
Komentar
Posting Komentar