Kisah Sudut Kampus
foto ini diambil saat gladi resik wisuda ke 98. bertepatan di studio DNK TV bersama Sekjur yang kece ini (tengah) :) |
Dear Langit…
Kata mutiara, kata-kata motivasi, kalimat
penyemangat serta kalimat-kalimat indah lainnya selalu menjadi sajian sedap
untuk seseorang
yang sedang dirundung kegalauan, kecewa, sakit hati, merasa gagal dalam
melakukan sesuatu dan untuk sesorang yang sedang berselimut masalah. Tak jarang
pula kata ‘Sabar yah’ menjadi suara yang membuat telinga kita panas, ketika
tidak ada kalimat lain yang orang lain katakan untuk kita yang merasakan
bergundah gulana. Ya memang begitu setiap saat. Mungkin si tempat penampung
keluh kesah bingung mau mengutarakan apa untuk menanggapi setiap cerita-cerita
menyedihkan kita. Mereka pun bingung, serba salah harus berbuat apa karena
sadar bahwa mereka bukanlah Tuhan yang bisa merubah takdir pahit ke takdir yang
manis. Sedangkan kita sebagai korban kesedihan mengarapkan kalimat yang
setidaknya sedikit bisa merubah keadaan. Sadar atau tidak, kita selalu berharap
solusi baik selalu kita santap dari si pendengar keluh kesah. Namun yang sering
terjadi adalah kata-kata manis yang mengharuskan kita menerima kenyataan pedih.
Begitulah sekiranya gambaran si gundah gulana dan penampung keluh kesah. Dan
siapapun orangnya, pastilah pernah mengalami salah satu posisi itu.
Taukah langit, saya sedang berada di posisi
yang mana? Ya, saya sedang menjadi si
gundah gulana mencari si penampung keluh kesah yang setidaknya bisa membesarkan
hati saya walau sedikit. Baik, akan saya ceritakan apa penyebabnya malam ini
saya begitu merasa terpuruk. Hari ini adalah tanggal yang dijadawalkan untuk
saya mempresentasikan proposal penelitian saya untuk tugas akhir, skripsi. Di
fakultas saya presentasi proposal lebih tenar disebut sempop (seminar
proposal).
Alhamdulillah, kondisi ibu membaik dan tiga
hari sebelum hari H, saya berniat ke kampus. Namun, yang terjadi adalah hujan
lebat yang tidak kunjung berhenti sejak malamnya. Siang itu pun Jakarta hitam
legam, semua yang ada di bumi basah dengan guyurannya dan yang paling parah,
hari itu aktifitas Jakarta terpaksa lumpuh karena genangan air yang terus
meninggi. Tentu saja tidak ada akses kemana-mana. Lagi, saya harus mengurungkan
niat mengganti proposal saya karena alasan hujan. Setelah Allah menguji saya
dengan kondisi ibu, saat itu Allah sedang mengetes saya dengan alam. Saya
memang harus bersabar, toh masih ada dua hari lagi. Semoga esoknya genangan air
menyurut dan saya bisa meluncur ke Ciputat. Ternyata tidak. Genangan air
semakin meninggi bahkan sepinggang orang dewasa. Tak ada yang bisa disalahkan,
karena Allah sudah menetapkan Jadwal bahwa setiap bulan Januari hingga Maret,
Jakarta harus menerima pasang surut air laut. Tak ada yang bisa disalahkan
bahkan hati saya pun tak berhak menggerutu. Rabu sore saya disarankan untuk
berangkat di Ciputat karena jika menunggu hari Kamis dikhawatirkan hujan lebih
lebat dan genangan air kembali meninggi. Saya ikuti saran orang tua dan segera
bergegas berangkat. Ternyata benar, angkutan umum Transjakarta koridor 8 tidak
beroperasi hari itu, bahkan yang saya temukan adalah tenda-tenda pengungsian, bantuan
sosial yang memadati sepanjang jalur busway. Saya pun putar balik kearah
Pesing. Memilih Koantas 102 jurusan Slipi-Ciputat untuk mengantarkan saya ke
kampus tercinta.
Saya memang memutuskan untuk bermalam di
kosan teman saya, Iim namanya. Dia salah satu teman yang mengerti betul kondisi
saya dari berbagai sisi. Malam itu, kami melakukan tinjauan pustaka di
Perpustakaan Umum UIN hingga gedung itu memutuskan untuk menghentikan
aktifitasnya. Malam itu, seperti kebanyakan orang, saya gelisah. Saya terus
membaca teori dan memadati otak dengan berbagai model analisis wacana. Sampai
rasanya saya siap.
Hari H itu tiba
juga. Setidaknya pagi itu ada yang membuat saya sedikit tenang. Pak Fatoni yang
mengurusi berkas semprop mengatakan saya tidak perlu menukar proposal yang
telah dikumpul, tinggal siapkan argument kuat dan berusaha. Saya menurut.
Semprop dimulai. Teman saya, Dewi yang mendapatkan urutan pertama menunjukkan
jurusnya. Berbagai sanggahan ditangkisnya hingga dia mendengar kata “ACC” untuk
judulnya. Tampak kelegaan hati terpancar dari helaan nafasnya. Kini giliran
saya yang siap-siap dicecar. Sebelumnya saya memberikan proposal yang telah
direvisi. Kemudian menjelaskan alasan saya merevisi proposal hingga ke
judulnya. Tapi saya tekankan, bahwa hanya judulnya saja yang berbeda, tetapi
permasalahan yang saya angkat sama. Setelah saya menyerahkan proposalnya,
sebagian penguji ada yang mencocokkan data, sebagian lagi fokus mendengarkan
penjelasan latar belakang dan teori-teori yang saya ambil. Berberapa tanggapan
pun sempat saya terima. Sedikit lega karena itu adalah tanggapan positif.
Bahkan salah satu dosen pun ada yang memberikan usul pada judul saya. Tapi kelegaan
itu harus sirna tiba-tiba, ketika pak Luthfi dosen jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam
mengomentari proposal saya dengan jelas. Beliau mengatakan bahwa latar belakang
saya berangkat dari pandangan common
sense. Padahal,saya sudah menjelaskan teori yang saya ambil. Baik saya
menyadari bahwa salahnya pada posisi awal teori itu di jelaskan. Seharusnya
saya menjelaskan teori dulu baru masalahnya. Kedua, tidak ada unsur ke
islamannya. Menurut beliau, penelitian saya ini harus ada unsur keIslamannya
walaupun sebuah analisis dari pemberitaan politik di sebuah media massa.
Entahlah, untuk yang satu itu tidak saya fikirkan. Lagipula walaupun dari
instansi Islam, haruskah penelitian mahasiswa dikait-kaitkan dengan keIslaman?
Baik, yang ketiga
ini yang menyakitkan. Tenggorokan saya merasa tercekik ketika mendengarnya.
Menyatakan bahwa proposal revisian saya sangat berbeda dengan judul sebelumnya.
Jadi semprop saya hari itu dianggap tidak sah dan harus daftar semprop
selanjutnya. Saya mengeluarkan argument pembelaan bahwa yang beda hanya judul,
sementara masalahnya sama. Tapi sayang tidak ada yang mau mendengarkan
penjelasan saya. MasyaAllah,,, rasa saat itu ulu hati terbakar, mata memanas
dan ingin segera enyah dari ruangan itu. Tapi beberapa teman saya langsung
menguatkan dan menyarankan agar sebaiknya tidak segera meninggalkan tempat. Ya,
saya harus mengontrol emosi untuk menghindarkan perilaku yang sebaiknya tidak
dilakukan seorang mahasiswa. Saya memilih tinggal, hingga selesai mendengar
celoteh peserta semprop lain.
Begitulah
ceritanya. Sesampainya dirumah, bendungan airmata yang sedari tertampung di
kelopak mata akhirnya tumpah juga. Tak tahan di kamar menangis. Entah menangisi
apa. Ketidakmampuan saya, kebodohan,
ataukah takdir…. Seperti yang saya
katakana di awal, bahwa kata “sabar ya cip” adalah kata yang menjejali telinga
saya. Walaupun hal kecil, justru kata itu yangmampu mendoktrin fikiran putus
asa saya untuk bersabar dan yakin bahwa apa yang sudah saya lakukan sejak
kemarin hingga saat itu bahkan selanjutnya tidak ada yang sia-sia. Selalu
positif kepada Allah. Karena Allah yang memberikan kita nafas, memberikan
tenaga, tekad yang kuat, bahkan air mata sebagai bekal melewati rintanganNya.
Semuanya tidak ada yang sia-sia bahkan hal terkecil di dunia. Seperti sel, ia
akan menjadi benda besar ketika satu dengan yang lainnya berkumpul jadi satu. begitu pun
amoeba. Hewan terkecil di dunia yang
diberi kehidupan oleh Allah untuk memberikan manfaat bagi manusia. Begitu pun
dengan senyum. Hal yang paling mudah dilakukan. Tapi bernilai ibadah ketika
tersenyum kepada orang lain. Terlebih lagi ketika kita mampu tersenyum di saat
hati kita sedang dirundung mendung. Betapa akan jadi dahsyatnya hal kecil itu,
bukan?
Dan yang saya
lakukan bukanlah semaikin melarut, tapi menata hati dan bersiap untuk kembali
melangkah.
Syifa
Kamis, 12
Februari 2015
NB:
Tulisan ini dibuat hampir dua tahun yang lalu. Ekspresi kegalauan mahasiswi
yang lagi berjuang untuk skripsi. tulisan ini bikin saya senyam senyum
sendiri. Betapa perjalanan kala itu begitu rumit tapi seru. Disitulah sensasinya
belajar. Kini saya sudah lulus dengan nilai yang alhamdulillah memuaskan. Menjadi
sarjana tentu lebih banyak lagi tugas dan kewajiban yang harus saya jalani. Apapun
itu, teruslah belajar dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Al-Ilmu murrun
Syadidun fil bidayah wa ahla minal ashala fin Nihayah. Karena menuntut ilmu
akan terasa pahit di awalnya, tapi hasil diakhirnya akan terasa manis melebihi
madu. Selamat menuntut ilmu!!!
Komentar
Posting Komentar