Saudaraku Rayhan
Saat SMA aku terbilang
anak yang paling bandel, urakan, dan susah di atur. Bukan prestasi yang ku ukir,
tapi kasus demi kasus yang selalu aku ciptakan di sekolah. Dari mulai menjahili
teman, melawan guru, bolos, sampai jadi penyebab tawuran. Jangankan dapat nilai
bagus, rutin masuk sekolah dalam satu minggu pun, itu sudah sangat ajaib
bagiku. Karena ulah ku itu ayah dan ibu selalu mendapat panggilan dari kepala
sekolah.
Pada jam istirahat aku
dan teman-teman sedang berkumpul di kantin. Tiba-tiba datanglah si Ocol sambil
memegangi sebelah pipinya yang tampak memar. Dia bilang kalau dirinya habis
dipalak anak SMA seberang. Walau sempat Ocol mencegah, aku tetap bergegas
menceritakan kejadian itu kepada senior ku kelas 2. Ya, bisa dibilang sebagai
pentolan sekolah. Memang sebelumnya banyak perselisihan kami dengan siswa SMA
sebrang itu. Mendengar ceritaku, senior ku pun marah besar.
Hari berikutnya terjadilah tawuran antara
sekolah ku dengan SMA seberang. Tentu saja aku ikut di dalamnya. Banyak korban
luka karena pertarungan itu. Bahkan ada salah seorang teman kami yang harus
meninggal karena bacokan di kepalanya. Aku kaget, saat tahu itu adalah Ocol.
Aku tertegun. Kemudian rasa bersalah berdesir di hati. Kalau saja aku tak melaporkan
pada senior tentang aksi palak anak SMA seberang terhadap Ocol, mungkin tidak
akan terjadi tawuran. Dengan begitu tentu saja Ocol tidak akan tewas
menggenaskan seperti ini. Aku jadi mengutuk diri sendiri. Menyesal karena
kenakalanku di kelas 1 SMA ini menyebabkan nyawa seseorang melayang.
Beberapa hari setelah
kejadian itu, aku dan beberapa siswa yang terbukti sebagai biang keladi dari
tawuran tersebut di dropout dari
sekolah. Hal yang memalukan untuk diri sendiri dan juga bagi kedua orangtua
kami. Apalagi setelah keluar dari sekolah ini, predikat nakal seakan selalu
melekat di tubuhku. Ayah dan Ibu memarahiku habis-habisan. Akhirnya mereka
menyekolahkanku di Madrasah Aliyah. Aku menyetujuinya, karena kurasa aku memang
harus berubah. Di sekolah yang berbasis islam ini terasa asing bagiku. Mungkin karena
berita kenakalanku yang sudah menyebar sehingga tidak ada yang mau berteman
denganku. Sungguh terasa asing. Jangankan geng
di sekolah ini, teman dekat pun aku tidak punya.
Kegiatan sekolah aku
jalani sendiri. setiap aku ingin masuk kelas, terdengar beberapa siswa
berbisik-bisik tentang kejelekanku. Saat di kantin, pulang sekolah, ke
perpustakaan sampai bertemu mereka di jalan pun sayup-sayup kejelekanku
terdengar di teliga. Panas rasanya. Tak sadar, tangan ku mengepal dan hendak
melayangkan tinju ke muka mereka. Tetapi saat kepalan tanganku hampir berhasil
memukul mereka seseorang menahanku. Merasa ada yang melindungi, mereka pun
kabur dan menghilang dari hadapan ku. Rayhan, teman sekelasku, ternyata dia
yang menahan pukulanku. Aku melirik tajam dan kesal. “Jangan terpancing emosi
Ilyas,” Kata Rayhan saat aku menoleh.
“Kalau kau meninju
mereka, kau akan tetap di cap anak urakan. Bagaimana bisa punya teman.” Katanya
lagi. Saat itu aku belum terima akan perlakuan Rayhan terhadapku. Tapi Rayhan
tampaknya mengerti apa yang aku butuhkan saat ini, yaitu seorang teman. Aku pun
menjadi luluh akan nasehat yang diberikannya. Semenjak itu, aku menjadi akrab
dengannya. Ya, bisa dibilang aku sudah berhasil mendapatkan satu teman di sekolah
baru ku itu. Memang semenjak aku pindah ke Madrasah Aliyah, hanya Rayhan lah
yang sedikit respect dan sesekali mau
makan satu meja dengan ku saat di kantin. Tampaknya dia tidak peduli akan
predikat “nakal” pada diriku.
Hari demi hari, aku
merasa diri ku semakin baik. Tidak ada kata bolos, menjahili teman apalagi
tawuran. Bahkan nilai ujian ku pun berangsur membaik. Aku pun sekeras mungkin
merubah perilaku. Dari yang emosional menjadi rendah hati dalam menyikapi
masalah. Akupun merasa lebih rajin dari sebelumnya. Bahkan kini aku punya
banyak teman. Sedikit demi sedikit mereka mau menerimaku sebagai teman. Berbeda
dengan temanku yang dahulu yang selalu memabawaku ke hal negatif. Tapi temanku
kali ini selalu mengajakku kedalam lingkaran positif. Mereka selalu menunjukkan
bagaimana sahabat yang baik itu. Mereka juga mengajariku agar tidak ada
kebencian kepada orang lain, sekalipun orang itu adalah musuh. Lagi-lagi, itu
adalah berkat Rayhan. Dia lah yang
menarik aku untuk masuk ke ranah yang benar. Tidak hanya menjadi seorang
sahabat, tapi kami menjadi seperti saudara yang saling mengingatkan di kala
lalai. Yang saling menopang di kala hampir roboh.
*****
Di ruang tamu, Aku
tersenyum-senyum sendiri saat melihat album foto-foto aku dan Rayhan di masa
Aliyah dan kuliah. Aku bersyukur kepada Allah, karena telah mengikatkanku dalam
sebuah ukhuwah dengan Rayhan. Dia selalu mencontohkan hal positif melalui
perilakunya sehingga aku terbawa. Mendorongku untuk belajar dan bekerja keras.
Setelah menunggu
beberapa menit, akhirnya Rayhan keluar juga dari dapur apartemennya dan
menghampiriku sambil membawa dua cangkir susu teh panas. “Tumben sekali kau
pagi-pagi begini sudah menyuruhku kemari,” kataku yang langsung menyambar teh
susu yang dihidangkannya.
“Iya Yas, aku mau minta
bantuanmu” dia menjawab dan menyusul menyeruput susu teh buatannya.
“Bantuan apa Han?
Serius sekali sepertinya”
“Begini Yas, aku ingin
meng-khitbah seseorang, tapi kau tahu sendiri, orangtuaku tidak ada di kota ini. Jadi, aku mau minta
bantuanmu,” katanya menjelaskan maksud. Aku pun tersenyum.
“Subhanallah,
Alhamdulillah. memang siapa perempuan itu Han? Dan apa yang bisa aku bantu?”
Kata ku dengan antusias.
“Nina. Kau masih kenal
dengan dia kan Yas?” Jawab Rayhan yang sedikit membuat jantungku berdegup saat
mendengar nama perempuan itu.
“Nina teman sekelas
kita waktu kuliah?” tanyaku. Rayhan pun mengangguk dengan cepat tanpa ragu.
Entah kenapa, anggukan itu membuat jantungku beregup lebih cepat. Nina, aku
juga pernah mencintai perempuan itu. Tidak hanya cantik dan anggun dia juga
seorang muslimah yang pintar. Semenjak kami kuliah, Rayhan memang sering cerita
padaku tentang perasaannya terhadap Nina. Tapi Rayhan tidak pernah berani
menyatakan perasaannya pada perempuan itu. Di sisi lain aku juga menyukai Nina.
Tapi tak mungkin aku menceritakan ini pada Rayhan. Tentu saja dia akan sakit
hati. Aku harus ikhlas atas perasaan ku ini. Toh, yang menjadi pemenang hati
wanita itu adalah Rayhan, sahabat bahkan saudaraku sendiri.
“Aku akan membantumu
dengan penuh Han. Ngomong-ngomong hubungan kalian sudah berapa lama? Kok aku
tidak tahu, Ooh… jadi kau tidak percaya lagi untuk curhat dengan ku?”
“Bukan
begitu Yas. aku dan dia memang belum ada hubungan apa-apa, bahkan aku belum menyatakan
perasaanku padanya. Aku hanya ingin menyatakan perasaan ku ini dengan langsung
mempersuntingnya. Agar tidak ada waktu yang terbuang dengan percuma.”
“Subhanallah, keputusan
mu tepat Han. Aku akan membantumu.” Rayhan tersenyum lega. Aku pun senang membantu
sahabat ku itu. Tak lama, Rayhan mengajakku untuk membeli cincin yang cocok
untuk melamar Nina. Kami pun beranjak dari tempat duduk.
****
Hari berikutnya, kami
menuju rumah Nina. Tampak wajah Rayhan yang sumringah bercampur gugup. Aku di
sampingnya, melamarkan gadis yang sempat tinggal di hatiku buat sahabatku.
“Jadi, begini pak kami
ini teman Nina sewaktu kuliah. Selama kuliah, teman saya Rayhan memendam
perasaan kepada anak bapak, hanya saja malu untuk menyatakannya. Nah, pada hari
ini sahabat saya Rayhan bermaksud untuk langsung melamar Nina, anak bapak,”
kata ku berusaha sesopan mungkin di hadapan orang tua Nina agar lamaran
sahabatku ini berhasil.
“Begini nak, ini kan
menyangkut masa depan Nina. Tentu saja semua keputusan ada di tangan Nina. Sebab
dia yang akan menjalani rumah tangganya.”
Kata bapak Nina disusul anggukan persetujuan dari istrinya.
“Jadi, alangkah baiknya
jika kami selaku orang tua menanyakannya dulu kepada Nina.” Lanjutnya lagi.
“Bagaimana Han, tidak
masalah kan?” Kata ku meminta persetujuan Rayhan. Tampak wajah Rayhan tambah
memerah. Dia pun mengangguk.
“Baiklah ibu akan coba
tanyakan dulu sebentar.” Kata ibu Nina sambil berjalan menuju kamar anaknya.
Sementara itu, aku dan
Rayhan mengisi obrolan ringan dengan bapak Nina. Tentu saja menyangkut apa
pekerjaan Rayhan dan sejauh mana Rayhan serius dengan anaknya. Ditanya seperti
itu Rayhan menjawabnya dengan yakin walaupun sedikit terbata-bata karena gugup.
Aku jadi tahu begini suasananya jika melamar gadis yang di cintai. Dalam hati
ku berharap dapat menyusul Rayhan setelah ini, jika lamaran Rayhan di terima.
Sekitar 15 menit kami
menunggu jawaban atas lamaran Rayhan. Ibu Nina akhirnya keluar juga dengan raut
wajah yang sulit di tafsirkan. Seperti raut wajah kebingungan. Ibu Nina
memanggil suaminya kebelakang. “ sebentar ya nak,” kata ibu Nina. Seperti ada
sesuatu yang harus dirundingkan. Terdengar sayup-sayup suara bapak Nina dari
arah belakang. “ Ya sudah, katakan saja apa adanya.” Dan tak lama keduanya pun
keluar dan menghampiri kami.
“Begini nak, temannya
Rayhan apa benar bernama Ilyas?” Aku bingung, kenapa ibu Nina menanyakan nama
ku. “Iya bu, benar, nama saya Ilyas” aku jawab dengan raut wajah
bertanya-tanya. Kurasa begitu pun dengan Rayhan.
“Begini nak Rayhan dan
nak Ilyas, sebelumnya maafkan kami jika kami harus berterusterang menyangkut
jawaban Nina.” Kata Ibu Nina dengan terbata-bata.
“Apapun jawaban Nina bu,
insya Allah saya akan terima dengan ikhlas,” Rayhan menjawab tak sabar
mendengar keputusan Nina.
“Putri kami Nina,
menolak lamaran nak Rayhan. Tetapi jika nak Ilyas memiliki maksud dan tujuan
yang sama datang kesini, Nina mengiyakannya.”
Mengejutkan. Aku dan
Rayhan terpaku. Memang aku juga pernah memiliki niat sama dengan Rayhan tetapi
ini bukan waktu yang tepat. Karena tak ada hati aku untuk menghancurkan
perasaan Rayhan. Wajah Rayhan kini
tampak layu. Beberapa menit kemudian, Rayhan berbicara dengan suara seraknya.
“Jika itu memang keputusan Nina, saya ikhlas menerimanya.” Agak hening.
Kemudian Rayhan mengeluarkan cincin yang di belinya kemarin dan menarik
tanganku.
“Keputusan Nina ini,
sudah melegakan saya. Dengan begitu, saya yang akan melamarkan Nina untuk
sahabat saya, Ilyas.” Kata Rayhan sambil menyerahkan cincin itu padaku.
“Hey, kau gila Han,”
kata ku kaget. “Sudahlah, ini keputusanku. Sebenarnya aku tahu kamu juga
memiliki perasaan yang sama pada Nina. Maaf, aku egois, tidak memikirkan
perasaanmu Yas.” Kata Rayhan dengan senyum yang penuh keikhlasan.
Tenggorokan ku kering. Entah harus
bahagia ataukah sedih. Rayhan tampak tidak berberat hati dan ikhlas atas
jawaban dari Nina. Dia menerima bahwa dia belum memiliki hak apapun atas orang
yang dicintainya. Aku terharu. Sungguh mulia hati saudaraku Rayhan. Ucapan syukur
sepertinya tak akan cukup untuk berterima kasih kepada Allah karena telah
mengikatkan aku dan Rayhan dalam sebuah ukhuwah ini. Allahu Akbar.
Komentar
Posting Komentar